Sabtu, 16 November 2013

Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini

Elis Komalasari
Universitas Pendidikan Indonesia

Landasan pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam penyelanggaraan pendidikan termasuk pendidikan anak usia dini. Dengan adanya landasan pendidikan maka praktek pendidikan maupun studi pendidikan memiliki tumpuan atau dasar pijakan. Selanjutnya, praktek pendidikan dan studi pendidikan akan membantu individu maupun kelompok untuk dapat mencapai tujuan pendidikan dan juga untuk memahami pendidikan.
Pada umumnya, landasan pendidikan terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu landasan religius pendidikan, landasan filosofis pendidikan, landasan ilmiah pendidikan, dan landasan yuridis atau hukum pendidikan. Landasan-landasan tersebut berfungsi untuk  memberikan dasar rujukan konseptual dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan yang dilaksanakannya. Dengan kata lain, landasan pendidikan berfungsi sebagai dasar pijakan atau titik tolak praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan anak usia dini tidak terlepas dari berbagai landasan pendidikan yang menjadi dasar dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan. Dengan didasarkan pada beragam jenis landasan pendidikan baik secara yuridis, filosofis, religi dan ilmiah, penyelengaraan pendidikan anak usia dini diharapkan dapat mengembangkan seluruh aspek pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dicita-citakan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Namun, dengan didasarkan fakta yang terjadi di lapangan, banyak praktik penyelenggaraan pendidikan anak usia dini yang tidak sesuai dengan karakteristik pertumbuhan dan perkembangan anak. Banyak praktik pendidikan yang hanya memenuhi keinginan orang dewasa bukan untuk memenuhi kebutuhan anak yanng pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kesalahan praktik pendidikan, lebih jauh hal tersebut dapat menghambat tujuan pendidikan seperti yang dicita-citakan dalam undang-undang dasar.

Oleh karenanya, perlu sebuah upaya untuk memberikan pemahaman pada para praktisi pendidikan anak usia dini di lapangan untuk dapat memahami berbagai landasan yang mendasari penyelenggaraan pendidikan anak usia dini agar dalam praktiknya dapat sesuai dengan kaidah baik secara yuridis, filosofis, religi, maupun keilmuan.
A.    Landasan Yuridis
Babang Robandi (2005) mengemukakan bahwa landasan yuridis atau hukum pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.
Berkaitan dengan peraturan perundang-undangan, secara yuridis, pendidikan anak usia dini telah ditetapkan oleh pemerintah dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, Pasal 28B ayat 2 dan Pasal 28 C tentang hak anak, serta UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. (Yuliani N Sujiono, 2011)
Pendidikan anak usia dini memiliki peranan yang besar dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional. Sebagai pendidikan awal untuk anak, pendidikan anak usia dini bertanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar pada anak, hal tersebut untuk mengembangkan anak menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab di kemudian hari.
Pendidikan anak usia dini sebagaimana telah ditetapkan sebagai bagian dari tujuan pendidikan nasional, tidak terlepas juga dari kesadaran akan hak setiap anak untuk memperoleh pendidikan. Kebutuhan dan hak setiap anak akan pendidikan tertuang dalam Pasal 28B ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sementara pada Pasal 28 C ayat 2 dinyatakan bahwa setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Hak dan perlindungan anak pun tertera dalam UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dalam ranghka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Atas dasar pemenuhan kebutuhan anak di atas, maka selanjutnya pendidikan anak usia dini dalam penyelenggaraan dan praktik pendidikannya diberikan kepada anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Hal ini tercermin dalam pengertian pendidikan anak usia dini yang tertera dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1, Pasal 1, Butir 14 yang menyatakan bahwa
“Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian ransangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.”

Penyelenggaraan pendidikan anak usia dini terdiri dari beberapa jalur sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal 28, yaitu
1.      Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang sekolah dasar
2.      Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non formal dan/ atau informal
3.      Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal dapat diselenggarakan dalam bentuk TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat
4.      Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan non formal diselenggarakan dalam bentuk KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat
5.      Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan informal diselenggarakam melalui pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

B.     Landasan Filosofis
Pendidikan anak usia dini pada dasarnya harus didasarkan pada nilai-nilai filosofis. Menurut Babang Robandi (2005), landasan filosofis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari filsafat yang menjadi titik tolak dalam rangka  praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.
 Yuliani N Sujiono (2011) mengemukakan bahwa secara ontologis, anak sebagai makhluk individu yang mempunyai aspek biologis (adanya perkembangan fisik yang berubah dari waktu ke waktu yang membutuhkan makanan, gizi, dan lain-lain), psikologis (Adanya perasaan-perasaan tertentu yang terbentuk karena situasi, seperti: senang, sedih, marah, kecewa, dihargai, dan sebagainya), sosiologis (anak membutuhkan teman untuk bermain), antropologis (anak hidup dalam suatu budaya dari mana dia berasal).
Dalam sudut pandang epistemologis, pembelajaran pada anak usia dini haruslah menggunakan konsep belajar sambil bermain (learning by playing), belajar sambil berbuat (learning by doing), dan belajar melalui stimulasi (learning by stimulating).
Sedangkan secara aksiologis, kurikulum pendidikan anak usia dini harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan dalam mengoptimalkan seluruh potensi anak yang berhubungan dengan nilai seni, keindahan dan keselarasan yang mengarah pada nilai kebahagiaan dalam kehidupan anak sesuai dengan akar budaya dimana mereka hidup (estetika) serta nilai-nilai agama yang dianutnya.

C.    Landasan Religius
Landasan religius pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari religi atau agama yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan. (Babang Robandi, 2005).
Yuliani Nurani Sujiono (2011) berpendapat bahwa pendidikan anak usia dini harus didasarkan pada landasan religi yang dipegang oleh lingkungan yang berada di sekitar anak dan agama yang dianutnya. Pendidikan agama menekankan pada pemahaman tentang agama serta bagaimana agama diamalkan dan diaplikasikan dalam tindakan serta perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, penanaman nilai-nilai agama dalam praktik pendidikan anak usia dini disesuaikan dengan tahapan perkembangan anak serta keunikan yang dimiliki setiap anak.
Dalam landasan religi, anak merupakan amanah Allah SWT, yang harus dijaga dan dibina. Anak memerlukan pendidikan akhlak yang baik dalam proses tumbuh kembangnya. Dalam sebuah hadist riwayat Bukhari dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “setiap anak dilahirkan atas fitrahnya maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nasrani atau majusi.”
Dari hadist riwayat tersebut, Dindin Jamaluddin (2012) memaparkan bahwa peran orangtua sangat penting dalam membentuk kepribadian anak pada masa yang akan datang. Dalam rangka pencapaian pendidikan, agama islam berupaya untuk melakukan pembinaan seluruh potensi manusia secara serasi dan seimbang, karena dengan terbinanya seluruh potensi manusia secara sempurna diharapkan ia dapat melakukan fungsi pengabdian sebagai khalifah di muka bumi.
Potensi-potensi yang harus dibina meliputi seluruh potensi yang dimiliki, yaitu potensi spiritual, kecerdasan, perasaan dan kepekaan. Jamaluddin berpandangan bahwa potensi-potensi tersebut merupakan kekayaan dalam diri manusia yang berharga. Untuk itu, diperlukan pendidikan untuk membentuk manusia menjadi insan yang mendekati kesempurnaan (insan kamil) atau memiliki kepribadian yang utama. Pendidikan anak berupaya untuk memberikan bimbingan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan masyarakat.

D.    Landasan Keilmuan
Yuliani N Sujiono (2011) berpendapat bahwa konsep keilmuan pendidikan anak usia dini bersifat isomorfis, yang berarti keilmuan pendidikan anak usia dini dibangun dari interdisiplin ilmu yang merupakan bagian dari beberapa disiplin ilmu, diantaranya: psikologi, fisiologi, sosiologi, ilmu pendidikan anak, antropologi, humaniora, kesehatan dan gizi serta neurosains (ilmu tentang perkembangan otak manusia).
Memperkuat pendapat di atas Babang Robandi (2005) mengemukakan bahwa landasan ilmiah pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari berbagai cabang atau disiplin ilmu yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan. Tergolong ke dalam landasan ilmiah pendidikan antara lain: landasan psikologis pendidikan, landasan sosiologis pendidikan, landasan antropologis pendidikan, landasan historis pendidikan, dsb. Landasan ilmiah pendidikan dikenal pula sebagai landasan empiris pendidikan atau landasan faktual pendidikan.
Dalam mengembangkan otak potensi belajar anak, harus diperhatikan aspek-aspek perkembangan yang akan dikembangkan sesuai dengan disiplin ilmu yang saling berhubungan dan terintegrasi sehingga diharapkan anak dapat menguasai beberapa kemampuan dengan baik.

Daftar rujukan :
Jamaluddin, Dindin. 2012. Paradigma Pendidikan Anak dalam Islam. Bandung: Pustaka Setia

Mulyasa. 2012. Manajemen PAUD. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Peraturan Menteri No.16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Departemen Pendidikan Nasional

Peraturan Menteri No.58 Tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini. Departemen Pendidikan Nasional

Robandi, Babang. 2005. Handout Mata Kuliah Landasan Pendidikan. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. http://file.upi.edu

Sujiono, Nurani Y. 2011. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks

Rabu, 30 Oktober 2013

Menangkap Makna Dibalik Bermain Anak

Oleh:
Elis Komalasari

Hampir separuh harinya, anak-anak menghabiskan waktu untuk bermain. Kecenderungan anak usia 3-5 tahun, anak-anak senang sekali bermain pura-pura, menjadikan semua barang disekitarnya untuk dijadikan alat permainan dan mewujudkan imajinasi seakan menjadi nyata.
Banyak anak-anak senang bermain pura-pura menirukan gaya orang dewasa. Pada anak lak-laki biasanya mereka senang bermain superhero, sedangkan anak perempuan lebih senang bermain pura-pura menjadi orangtua, guru, murid, dokter dan menirukan profesi lainnya lengkap dengan segala atributnya. Anak-anak menggunakan peralatan dan pakaian ibunya untuk mendukung peran pura-puranya dan sebuah kehebatan bagi mereka ketika mereka mampu menirukan gaya orang dewasa.
Ketika anak-anak bermain, anak-anak sebenarnya sedang mengembangkan kemampuannya baik secara kognitif, fisik, sosial dan emosional. Permainan pura-pura yang dilakukan oleh anak-anak memberikan informasi pada orang dewasa bahwa orang dewasa adalah model bagi anak. Bagaimana kemampuan anak menirukan gaya orang dewasa, hal tersebut menjadi pelajaran untuk orang dewasa agar dapat berprilaku baik di depan anak sehingga anak hanya menangkap pesan-pesan yang baik dari perilaku orang dewasa yang ada disekitarnya.
Selain anak-anak melakukan proses rekognisi pada saat bermain, anak-anak juga mengembangkan keterampilan fisiknya melalui gerak. Kecenderungan pengembangan fisik-motorik yang lebih jelas terlihat adalah pada anak laki-laki, anak laki-laki yang sedang menirukan adegan superhero, mereka memiliki banyak kesempatan untuk dapat mengembangkan keterampilan motorik kasar. Hanya saja yang perlu diwaspadai oleh para orang tua saat anak laki-laki bermain superhero ada batasan gerak dan pengendalian aspek emosi, karena permainan superhero dapat juga memberikan dampak negatif seperti munculnya perilaku agresifitas.
Jenis-jenis permainan anak memang memiliki dampak positif dan negatif, oleh karenanya  orang tua maupun orang dewasa harus memberikan pengawasan pada anak ketika bermain. Anak-anak harus tetap bermain karena memang bermain merupakan dunia anak dan sifat alamiah yang dimiliki anak. Kebutuhan bermain harus terpenuhi hingga anak memasuki usia yang remaja dan dewasa.


A.      Mengenal Anak dan Dunianya
Pandangan orang terhadap anak usia dini cenderung berubah dan berkembang setiap waktu, berbeda satu dengan yang lainnya  sesuai dengan teori yang melandasinya dan keyakinan masyarakat sesuai budaya tempat tinggal serta agama yang dianutnya.  Pandangan-pandangan yang berbeda melahirkan penanganan yang berbeda dari orang tua/ orang dewasa kepada setiap anak.
Teori tabula rasa memandang anak sebagai kertas putih yang harus ditulisi oleh orang tua, sementara pandangan lain ada yang mengemukakan bahwa anak usia dini adalah makhluk yang sudah dibentuk oleh lingkungannya, anak adalah miniatur orang dewasa, dan ada juga yang menganggap bahwa anak adalah individu yang berbeda dari orang dewasa.
National Association Education of Young Children (NAEYC) dalam Yuliani N Sujiono (2011) mengemukakan bahwa anak usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjunya. Selanjutnya,  Berk dalam sumber yang sama mengungkapkan bahwa pada masa usia dini, proses pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai aspek mengalami masa yang cepat dalam rentang perkembangan hidup manusia.
Beberapa ahli dalam bidang pendidikan dan psikologi lainnya memandang bahwa perkembangan anak usia dini merupakan periode penting dan memerlukan penanganan sedini mungkin. Montessori dalam Mulyasa (2012) mengungkapkan bahwa usia dini merupakan periode sensitif  atau masa peka pada anak, yaitu suatu periode ketika suatu fungsi tertentu perlu diransang , dan diarahkan sehingga tidak terhambat perkembangannya.
Anak usia dini yang berkisar antara usia 0-6 tahun merupakan masa rentan dalam perkembangan hidup manusia. Menjadi masa rentan karena pada masa ini, anak-anak sedang dalam proses pengembangan pemahaman, perilaku, keterampilan dan kepribadian yang akan membentuknya menjadi individu seperti apa di masa selanjutnya.
Selain itu, anak usia dini merupakan individu yang unik, setiap anak memiliki potensi yang berbeda, memiliki kelebihan, kekurangan, minat dan bakat masing-masing.  Oleh karena itu orang tua dan orang dewasa perlu mengenal keunikan dan karakteristik anak,  hal tersebut bertujuan agar anak mendapatkan perlakuan sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan pada masanya.
Pentingnya masa usia dini membuat masa ini memerlukan perhatian yang khusus dalam praktik pengasuhan, perawatan dan pendidikan sehingga anak akan tumbuh dan berkembanga menjadi pribadi yang sehat, cerdas, ceria dan berkarakter baik. Untuk mewujudkan hal tersebut, anak memerlukan pengalaman yang baik dan menyenangkan, baik dari orang tua, sekolah maupun lingkungan tempat tinggal.
Kegiatan yang menyenangkan untuk anak adalah kegiatan bermain. Bermain merupakan kebutuhan anak karena terkait dengan karakteristik anak yang masih dalam tahap sensori motor dan pra operasional konkret. Menurut Jean Piaget (Santrock, 2002), pada masa sensori motor anak mengembangkan kemampuan untuk mengorganisasikan dan mengkoordinasikan sensasi dan persepsi dengan gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan fisik.
Sementara pada masa tahapan praoperasional konkret, anak mulai membantuk konsep dan belum bisa berpikir secara operasional. Pada tahap ini anak belajar melalui simbol dari yang primitif ke yang lebih canggih. Dengan didasarkan pada tahapan berpikir anak tersebut, maka untuk membangun pengetahuan anak, belajar anak haruslah konkret dan bersifat menyenangkan.
Kegiatan yang menyenangkan dan sesuai dengan dunia anak adalah bermain, melalui bermain, anak dapat menyalurkan energinya dan mengeksplorasi lingkungannya, dilakukan secara sukarela, dan berulang kali. Aktivitas bermain memberikan banyak manfaat. Bermain dengan mengeksplorasi lingkungan dapat meningkatkan stimulasi perkembangan anak.

B.      Menggali kekuatan Bermain Untuk Mengoptimalkan Potensi Anak
Banyak orang yang beranggapan bahwa bermain merupakan aktivitas yang tidak bermakna dan hanya “main-main”. Sebagian orang tua dan orang dewasa seringkali melarang anak-anaknya bermain dan lebih senang ketika anaknya diam di rumah dan menekuni buku. Padahal aktivitas bermain pada anak usia dini memiliki banyak manfaat dalam mengembangkan seluruh aspek perkembangan.
Piaget dala Yuliani Sujiono (2011) mengemukakan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan berulang-ulang dan menimbulkan kesenangan atau kepuasan bagi diri seseorang. sedangkan Parten  dalam sumber yang sama mengemukakan bahwa kegiatan bermain sebagai sarana sosialisasi , diharapkan melalui bermain dapat memberikan kesempatan anak untuk bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi, dan belajar secara menyenangkan. Selain itu, kegiatan bermain dapat membantu anak mengenal tentang diri sendiri, dengan siapa ia hidup serta lingkungan tempat tinggalnya.
Pendapat lain dari Docket dan Fleer (Sujiono, 2011) bahwa bermain merupakan kebutuhan bagi anak, melalui bermain anak akan memperoleh pengetahuan yang dapat mengembangkan kemampuan diri. Bermain merupakan suatu aktivitas yang khas dan sangat berbeda dengan aktivitas lain seperti belajar dan bekerja yang selalu dilakukan dalam rangka mencapai suatu hasil akhir.
Hurlock (Utama, ) menyatakan bahwa bermain adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Bermain dilakukan secara sukarela dan dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau kewajiban Dari beragam pendapat para ahli mengenai makna bermain, jelas bahwa bermain memberikan banyak manfaat, diantaranya; anak belajar memperoleh pengetahuan melalui lingkungan sekitar, anak membangun pengetahuan melalui aktivitas bermain, anak belajar bersosialisasi dengan teman sebaya, serta melalui bermain anak mengembangkan kemampuan fisik motoriknya.
Bermain bukanlah aktivitas tanpa tujuan, Yuliani N Sujiono (2011) mengungkapkan bahwa tujuan utama dari bermain adalah memelihara perkembangan atau pertumbuhan optimal anak usia dini melalui pendekatan bermain yang kreatif, interaktif dan terintegrasi dengan lingkungan bermain anak. Penekanan dari bermain anak adalah perkembangan kreativitas dari anak-anak. Semua anak usia dini memiliki potensi kreatif tetapi perkembangan kreativitas sangat individual dan bervariasi antar anak yang satu dengan yang lainnya.
Elkonin, salah seorang murid Vygotsky dalam Yuliani Sujiono (2011) mengemukakan beberapa prinsip bermain anak, sebagai berikut:
1.       Dalam bermain, anak mengembangkan sistem untuk memahami apa yang sedang terjadi dalam rangka mencapai tujuan yang lebih kompleks
2.       kemampuan untuk menempatkan perspektif orang lain melalui aturan-aturan dan menegoisasikan aturan bermain
3.       anak menggunakan reflika untuk menggantikan objek nyata, lalu mereka menggunakan objek baru yang berbeda. kemampuan menggunakan simbol termasuk ke dalam perkembangan berpikir abstrak dan imajinasi
4.       Kehati-hatian dalam bermain mungkin terjadi, karena anak perlu mengikuti aturan permainan yang telah ditentukan bersama teman-temannya.
Untuk mendukung keempat hal tersebut di atas, anak memerlukan lingkungan yang mendukung untuk melakukan permainan khayalan.  Bermain anak tidak bisa disamakan dengan bermain orang dewasa. Bermain memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak.


C.      Karakteristik Bermain
Pada saat ini, banyak definisi bermain yang difokuskan pada sejumlah karakteristik bermain. Fromberg dalam Doocket dan Fleer (2000) mendefinisikan bermain sebagai berikut:
1.       Simbolik
Salah satu karakteristik bermain adalah “make believe” dimana anak meyakini bahwa benda-benda dihadapannya adalah nyata dan dapat dijadikan apapun sesuai khayalan mereka. Melalui bermain, orang-orang dan objek-objek digunakan sebagai simbol untuk objek dan orang yang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kita biasa melihat anak-anak menggunakan balok untuk membuat kereta atau anak berperan sebagai ibu dengan pakaian yang disesuaikan dan menirukan suara ibu agar dapat berperan sempurna.
2.       Bermakna/ Meaningfull
Bermain menumbuhkan kepekaan anak pada pengalaman nyata dan penuh makna. Johnson (Docket dan Fleer, 2000) menggambarkan bermain sebagai jendela [erkembangan dan kesempatan untuk belajar. Dalam kata lain, permainan anak-anak merefleksikan apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka bisa lakukan. Bermain memberikan anak-anak kesempatan untuk membangun dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman.
3.       Aktif
Salah satu tipikal bermain adalah bermain melibatkan aktivitas. Seringkali bermain menjadi aktifitas fisik, dan pada waktu yang lain bermain dapat menjadi aktivitas mental, contohnya: bermain kata atau bermain imajinasi.
4.       Menyenangkan
Anak-anak terlibat dalam kegiatan bermain karena bermain merupakan kegiatan yang menyenangkan. Para guru dapat menggunakan bermain sebagai proses pengalaman belajar mengajar. Kesenangan bergantung pada persepsi individu, hal yang menyenangkan untuk satu anak belum tentu menyenangkan untuk anak lainnya.
5.       Mengesampingkan aturan
Semua permainan diikat oleh beberapa aturan. Beberapa  aturan terkait dengan waktu permainan dan  alat yang digunakan untuk bermain. Namun pada anak-anak, biasanya anak-anak mengurangi banyaknya aturan ketika bermain, anak-anak lebih suka mengontrol permainan nya sendiri.
6.       Sukarela
Anak-anak yang terlibat dalam permainan didasarkan pada motivasi intrinsik, anak-anak dapat memilih permainan sebelum mereka terlibat, mereka bisa tidak memilih atau mereka bisa merubah permainan. Motivasi bermain tidak hanya berkaitan dengan kenyamanan, namun juga terkait dengan pengalaman ketika anak melwatkan waktu dan melepaskan energi untuk terlibat dalam sesuatu yang penting bagi mereka.
7.       Epsisodik
Epsodik terdapat diawal, pertengahan dan akhir. Anak-anak bermain dalam beberapa tahapan. episode bermain dapat merefleksikan tema permainan yang anak minati. Bermain pada anak memiliki sebuah tahapan orientasi dimana anak memilah-milah apa yang akan mereka mainkan.

Setiap karakteristik di atas bergantung pada pengalaman anak, dalam artian bahwa tidak semua aktivitas adalah bermain, dan tidak semua pengalaman bermakna melibatkan bermain. Namun seluruh karakteristik diatas merupakan suatu kesatuan yang memberikan kontibusi pada perilaku bermain.

Minggu, 13 Oktober 2013

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DALAM PANDANGAN AHLI AGAMA

Oleh: Elis Komalasari

Pendidikan anak usia dini merupakan langkah awal dari jalan panjang dalam menciptakan generasi unggul. Oleh karenanya pembahasan mengenai pendidikan anak telah menarik perhatian banyak penggiat pendidikan, tidak hanya dilihat dari sudut pandang pedagogis dan sosial, namun juga dari perspektif teologis.
Terkait dengan pandangan ahli pendidikan anak dari perspektif pedagogis-teologis islam, tidak terlepas dari nama-nama  besar Abdullah Nasih Ulwan, Ibn Qayyim Al Jauziyyah,  Ibnu Sina, AL Ghazali, Ibn Khaldun dan lain sebagainya. Namun dalam pembahasan ini akan diangkat dua pemikiran ahli yaitu Abdullah Nasih Ulwan, Ibn Qayyim Al Jauziyyah, yang pemikiran-pemikirannya telah mencakup pemikiran-pemikiran ahli lainnya mengenai pendidikan anak.

1.      Ibn Qayyim Al Jauziyyah
Ibn Qayyim Al Jauziyyah adalah seorang ahli fiqh yang memeiliki kepedulian besar terhadap perkembangan anak.  Ia juga banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan psikologi dan pendidikan.  Ibn Qayyim Al Jauziyyah  berpendapat  bahwa anak-anak itu suci, bersih dan keberadaannya diamanatkan oleh Allah Swt, anak-anak harus dididik dan diarahkan perkembangannya ke arah yang baik dan berguna bagi kehidupannya kelak.
Terdapat beberapa pandangan Ibn Qayyim terhadap anak dan pendidikan, sebagai berikut :
a.       anak adalah makhluk beradab dan berakhlak.  adab dan akhlak yang harus diperhatikan  dalam diri anak adalah adab kepribadian, adab mencari ilmu, dan adab dengan gurunya.
b.      Anak mememiliki tekad kuat untuk meraih kesempurnaan ilmu. Dalam hal ini anak harus dijaga dari perbuatan maksiat dan dijauhkan dari hal-hal yang haram sehingga anak mendapatkan kejernihan hati yang akan memudahkan cahaya ilmu untuk menyinari hati.
c.       Dalam konteks pendidikan anak usia dini, anak perlu mendapatkan bimbingan untuk berkompetisi dalam mencari ilmu dan secara bertahap mulai diperkenalkan beberapa sifat yang harus dihindari oleh anak-anak. Hal ini bertujuan untuk menjaga dan memelihara potensi dan pola pikir anak yang sedang berkembang dengan pesat.
d.      Anak usia dini perlu ditanamkan kedisiplinan yang dimanifestasikan dalam kegiatan sehari-hari
e.       Anak-anak perlu diarahkan pada pembentukanpola pikir yang sehat dan berpandangan luas agar tidak fanatik terhadap salah satu pandangan.
f.       Ibn Qayyim Al Jauziyyah sangat menitikberatkan pembentukan akhlak yang luhur bagi anak-anak.
g.      Anak-anak harus dibiarkan untuk banyak bertanya karena kemampuan bertanya memiliki nilai ilmiah yang besar
h.      Ibn Qayyim Al Jauziyyah mengarahkan pendidikan anak usia dini pada komitmen guru dan orangtua untuk memberikan perhatian yang besar terhadap perkembangan anak.
i.        Tujuan pendidikan anak adalah menjaga (kesucian) fitrah anak dan melindungi anak agar tidak menyimpang serta mewujudkan sifat ubudiyah (penghambaan) dalam  diri anak kepada Allah Swt.
j.        Guru dan orangtua sangat penting untuk memperhatikan pendidikan anak dalam berbagai aspek sehingga anak menjadi pribadi yang baik dalam hal mental, intelektual dan spiritual.
k.      Metode pendidikan anak usia dini melalui pembiasaan dan suri tauladan.

2.      Abdullah Nasih Ulwan
Abdullah Nasih Ulwan adalah seorang filsuf dari timur.  Ia memiliki pemikiran pendidikan anak yang dirangkum ke dalam lima pokok pikiran, sebagai berikut:
a.       Mendidik dengan keteladanan (al tarbiyah bi al-qudwah)
Suyadi dan Ulfah (2013) berpendapat bahwa pengembangan metode keteladanan (al tarbiyah bi al-qudwah) dalam pendidikan merupakan metode yang paling berpengaruh untuk mengembangkan kecerdasan anak baik emosional, moral, spiritual, dan etos sosialnya. Dalam bidang pendidikan, Abdullah Nasih Ulwan mengimplementasikan keteladan ke dalam pola-pola sebagai berikut:
1)      menumbuhkan teladan akhlak mulia anak
2)      menumbuhkan teladan kerendahan hati anak
3)      menumbuhkan teladan terhadap kekuatan fisik
4)      menumbuhkan teladan dalam memegang prinsip
b.      Mendidik dengan adat kebiasaan (al-tarbiyah bi al-‘adah)
Pembiasaan dalan pendidikan anak memiliki peranan untuk menumbuhkan serta mengembangkan kecerdasan jiwa dalam menemukan nilai-nilai ketauhidan yang urni, budi pekerti yang mulia, rohani yang luhur, dan etika religius yang lurus. Dalam mendidik anak melalui kebiasaan terdapat dua faktor yang mempengaruhi yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan sosial. kedua lingkungan tersebut memiliki peran strategis untuk mengubah perilaku atau kepribadian anak. Adapun metode yang dapat mengembangkan kepribadian anak adalah dengan pengajaran dan pembiasaan.
c.       Mendidik dengan nasihat (al tarbiyah bi al-mau’idzhah)
Nasih ulwan mengemukakan bahwa metode nasihat (tausiah) dapat digunakan untuk mendidik akidah anak dan mempersiapkan anak baik secara moral, emosional maupun sosial. Ia berpandangan pahwa nasihat memiliki pengaruh yang besar dalam menumbuhkan kesadaran diri anak terhadap hal-hal yang dapat mendorong anak menuju harkat dan martabat yanng luhur, memiliki akhlak mulia serta tumbuhnya jiwa yang didasari dengan nilai-nilai islam.
Pandangan nasih ulwan ini mengacu pada surat Al Luqman, ayat 12-19 yang menceritakan pola pendidikan anak dengan nasihat. Metode nasihat dalam Al-Quran mengandung beberapa faktor pengajaran, antara lain:
1)      seruan untuk menyenangkan dengan upaya dan penolakan yang lembut
2)      nasihat dalam bentuk cerita atau perumpaan yang mengandung pelajaran
3)      nasihat dalam bentuk wasiat
d.      Pendidikan dengan pengawasan (al tarbiyah bi al-muldhazah)
Metode pengawasan adalah mencurahkan perhatian penuh dan mengikuti perkembangan anak dalam aspek akidah dan moral anak, memanatau kesiapan mental dan sosial anak serta mendampingi anak dalam berbagai situasi lingkungan sosialnya. Landasan pola pendidikan pengawasan ini adalah surat At-Tahrim ayat 6 yang menyatakan :
Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahannya terdiri dari manusia dan batu, penjaganya malaikat yang kasar, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengajarkan apa yang diperintahkan.
(Q.S. At Tharim: 6)

Metode pengawasan dapat mengembangkan kecerdasan anak menuju manusia yang sempurna (insan kamil). Selain itu, Rasulullah mengembangkan metode pengawasan dan perhatian terhadap anak-anak melalui beberapa hal, sebagai berikut:
1)      perhatian pada aspek keimanan anak
2)      perhatian pada aspek moral anak
3)      perhatian pada aspek jasmani anak
4)      perhatian pada aspek sosial anak
5)      perhatian pada aspek spiritual anak

e.       Metode pemberian hukuman (al tarbiyah bi al-uqubah)
Metode pemberian hukuman pada anak berbeda dengan pemberian hukuman pada orang-orang secara umumnya. Nasih Ulwan menjelaskan bahwa hukuman untuk anak bersifat memotivasi dalam mengembangkan potensi sehingga penerapan metode hukuman ini diperbolehkan dengan mengikuti beberapa syarat sebagai berikut:
1)      bersikap lemah lembut dan kasih sayang dalam membenahi kesalahan anak
2)      menerapkan hukuman secara bertahap dari yang ringan hingga yang paling keras
3)      menunjukan kesalahan anak dengan berbagai pengarahan
4)      menunjukan kesalahan anak dengan memberikan isyarat
5)      menunjukan eksalahan anak dengan kecaman
6)      tidak menunjukan kesalahan anak dengan memutuskan hubungan (tidak mengacuhkan)
7)      menunjukan kesalahan dengan memukul.

Referensi :
Suyadi & Ulfah Maulidya. 2013. Konsep Dasar PAUD. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya