Rabu, 30 Oktober 2013

Menangkap Makna Dibalik Bermain Anak

Oleh:
Elis Komalasari

Hampir separuh harinya, anak-anak menghabiskan waktu untuk bermain. Kecenderungan anak usia 3-5 tahun, anak-anak senang sekali bermain pura-pura, menjadikan semua barang disekitarnya untuk dijadikan alat permainan dan mewujudkan imajinasi seakan menjadi nyata.
Banyak anak-anak senang bermain pura-pura menirukan gaya orang dewasa. Pada anak lak-laki biasanya mereka senang bermain superhero, sedangkan anak perempuan lebih senang bermain pura-pura menjadi orangtua, guru, murid, dokter dan menirukan profesi lainnya lengkap dengan segala atributnya. Anak-anak menggunakan peralatan dan pakaian ibunya untuk mendukung peran pura-puranya dan sebuah kehebatan bagi mereka ketika mereka mampu menirukan gaya orang dewasa.
Ketika anak-anak bermain, anak-anak sebenarnya sedang mengembangkan kemampuannya baik secara kognitif, fisik, sosial dan emosional. Permainan pura-pura yang dilakukan oleh anak-anak memberikan informasi pada orang dewasa bahwa orang dewasa adalah model bagi anak. Bagaimana kemampuan anak menirukan gaya orang dewasa, hal tersebut menjadi pelajaran untuk orang dewasa agar dapat berprilaku baik di depan anak sehingga anak hanya menangkap pesan-pesan yang baik dari perilaku orang dewasa yang ada disekitarnya.
Selain anak-anak melakukan proses rekognisi pada saat bermain, anak-anak juga mengembangkan keterampilan fisiknya melalui gerak. Kecenderungan pengembangan fisik-motorik yang lebih jelas terlihat adalah pada anak laki-laki, anak laki-laki yang sedang menirukan adegan superhero, mereka memiliki banyak kesempatan untuk dapat mengembangkan keterampilan motorik kasar. Hanya saja yang perlu diwaspadai oleh para orang tua saat anak laki-laki bermain superhero ada batasan gerak dan pengendalian aspek emosi, karena permainan superhero dapat juga memberikan dampak negatif seperti munculnya perilaku agresifitas.
Jenis-jenis permainan anak memang memiliki dampak positif dan negatif, oleh karenanya  orang tua maupun orang dewasa harus memberikan pengawasan pada anak ketika bermain. Anak-anak harus tetap bermain karena memang bermain merupakan dunia anak dan sifat alamiah yang dimiliki anak. Kebutuhan bermain harus terpenuhi hingga anak memasuki usia yang remaja dan dewasa.


A.      Mengenal Anak dan Dunianya
Pandangan orang terhadap anak usia dini cenderung berubah dan berkembang setiap waktu, berbeda satu dengan yang lainnya  sesuai dengan teori yang melandasinya dan keyakinan masyarakat sesuai budaya tempat tinggal serta agama yang dianutnya.  Pandangan-pandangan yang berbeda melahirkan penanganan yang berbeda dari orang tua/ orang dewasa kepada setiap anak.
Teori tabula rasa memandang anak sebagai kertas putih yang harus ditulisi oleh orang tua, sementara pandangan lain ada yang mengemukakan bahwa anak usia dini adalah makhluk yang sudah dibentuk oleh lingkungannya, anak adalah miniatur orang dewasa, dan ada juga yang menganggap bahwa anak adalah individu yang berbeda dari orang dewasa.
National Association Education of Young Children (NAEYC) dalam Yuliani N Sujiono (2011) mengemukakan bahwa anak usia dini adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjunya. Selanjutnya,  Berk dalam sumber yang sama mengungkapkan bahwa pada masa usia dini, proses pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai aspek mengalami masa yang cepat dalam rentang perkembangan hidup manusia.
Beberapa ahli dalam bidang pendidikan dan psikologi lainnya memandang bahwa perkembangan anak usia dini merupakan periode penting dan memerlukan penanganan sedini mungkin. Montessori dalam Mulyasa (2012) mengungkapkan bahwa usia dini merupakan periode sensitif  atau masa peka pada anak, yaitu suatu periode ketika suatu fungsi tertentu perlu diransang , dan diarahkan sehingga tidak terhambat perkembangannya.
Anak usia dini yang berkisar antara usia 0-6 tahun merupakan masa rentan dalam perkembangan hidup manusia. Menjadi masa rentan karena pada masa ini, anak-anak sedang dalam proses pengembangan pemahaman, perilaku, keterampilan dan kepribadian yang akan membentuknya menjadi individu seperti apa di masa selanjutnya.
Selain itu, anak usia dini merupakan individu yang unik, setiap anak memiliki potensi yang berbeda, memiliki kelebihan, kekurangan, minat dan bakat masing-masing.  Oleh karena itu orang tua dan orang dewasa perlu mengenal keunikan dan karakteristik anak,  hal tersebut bertujuan agar anak mendapatkan perlakuan sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan pada masanya.
Pentingnya masa usia dini membuat masa ini memerlukan perhatian yang khusus dalam praktik pengasuhan, perawatan dan pendidikan sehingga anak akan tumbuh dan berkembanga menjadi pribadi yang sehat, cerdas, ceria dan berkarakter baik. Untuk mewujudkan hal tersebut, anak memerlukan pengalaman yang baik dan menyenangkan, baik dari orang tua, sekolah maupun lingkungan tempat tinggal.
Kegiatan yang menyenangkan untuk anak adalah kegiatan bermain. Bermain merupakan kebutuhan anak karena terkait dengan karakteristik anak yang masih dalam tahap sensori motor dan pra operasional konkret. Menurut Jean Piaget (Santrock, 2002), pada masa sensori motor anak mengembangkan kemampuan untuk mengorganisasikan dan mengkoordinasikan sensasi dan persepsi dengan gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan fisik.
Sementara pada masa tahapan praoperasional konkret, anak mulai membantuk konsep dan belum bisa berpikir secara operasional. Pada tahap ini anak belajar melalui simbol dari yang primitif ke yang lebih canggih. Dengan didasarkan pada tahapan berpikir anak tersebut, maka untuk membangun pengetahuan anak, belajar anak haruslah konkret dan bersifat menyenangkan.
Kegiatan yang menyenangkan dan sesuai dengan dunia anak adalah bermain, melalui bermain, anak dapat menyalurkan energinya dan mengeksplorasi lingkungannya, dilakukan secara sukarela, dan berulang kali. Aktivitas bermain memberikan banyak manfaat. Bermain dengan mengeksplorasi lingkungan dapat meningkatkan stimulasi perkembangan anak.

B.      Menggali kekuatan Bermain Untuk Mengoptimalkan Potensi Anak
Banyak orang yang beranggapan bahwa bermain merupakan aktivitas yang tidak bermakna dan hanya “main-main”. Sebagian orang tua dan orang dewasa seringkali melarang anak-anaknya bermain dan lebih senang ketika anaknya diam di rumah dan menekuni buku. Padahal aktivitas bermain pada anak usia dini memiliki banyak manfaat dalam mengembangkan seluruh aspek perkembangan.
Piaget dala Yuliani Sujiono (2011) mengemukakan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan berulang-ulang dan menimbulkan kesenangan atau kepuasan bagi diri seseorang. sedangkan Parten  dalam sumber yang sama mengemukakan bahwa kegiatan bermain sebagai sarana sosialisasi , diharapkan melalui bermain dapat memberikan kesempatan anak untuk bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi, dan belajar secara menyenangkan. Selain itu, kegiatan bermain dapat membantu anak mengenal tentang diri sendiri, dengan siapa ia hidup serta lingkungan tempat tinggalnya.
Pendapat lain dari Docket dan Fleer (Sujiono, 2011) bahwa bermain merupakan kebutuhan bagi anak, melalui bermain anak akan memperoleh pengetahuan yang dapat mengembangkan kemampuan diri. Bermain merupakan suatu aktivitas yang khas dan sangat berbeda dengan aktivitas lain seperti belajar dan bekerja yang selalu dilakukan dalam rangka mencapai suatu hasil akhir.
Hurlock (Utama, ) menyatakan bahwa bermain adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Bermain dilakukan secara sukarela dan dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau kewajiban Dari beragam pendapat para ahli mengenai makna bermain, jelas bahwa bermain memberikan banyak manfaat, diantaranya; anak belajar memperoleh pengetahuan melalui lingkungan sekitar, anak membangun pengetahuan melalui aktivitas bermain, anak belajar bersosialisasi dengan teman sebaya, serta melalui bermain anak mengembangkan kemampuan fisik motoriknya.
Bermain bukanlah aktivitas tanpa tujuan, Yuliani N Sujiono (2011) mengungkapkan bahwa tujuan utama dari bermain adalah memelihara perkembangan atau pertumbuhan optimal anak usia dini melalui pendekatan bermain yang kreatif, interaktif dan terintegrasi dengan lingkungan bermain anak. Penekanan dari bermain anak adalah perkembangan kreativitas dari anak-anak. Semua anak usia dini memiliki potensi kreatif tetapi perkembangan kreativitas sangat individual dan bervariasi antar anak yang satu dengan yang lainnya.
Elkonin, salah seorang murid Vygotsky dalam Yuliani Sujiono (2011) mengemukakan beberapa prinsip bermain anak, sebagai berikut:
1.       Dalam bermain, anak mengembangkan sistem untuk memahami apa yang sedang terjadi dalam rangka mencapai tujuan yang lebih kompleks
2.       kemampuan untuk menempatkan perspektif orang lain melalui aturan-aturan dan menegoisasikan aturan bermain
3.       anak menggunakan reflika untuk menggantikan objek nyata, lalu mereka menggunakan objek baru yang berbeda. kemampuan menggunakan simbol termasuk ke dalam perkembangan berpikir abstrak dan imajinasi
4.       Kehati-hatian dalam bermain mungkin terjadi, karena anak perlu mengikuti aturan permainan yang telah ditentukan bersama teman-temannya.
Untuk mendukung keempat hal tersebut di atas, anak memerlukan lingkungan yang mendukung untuk melakukan permainan khayalan.  Bermain anak tidak bisa disamakan dengan bermain orang dewasa. Bermain memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak.


C.      Karakteristik Bermain
Pada saat ini, banyak definisi bermain yang difokuskan pada sejumlah karakteristik bermain. Fromberg dalam Doocket dan Fleer (2000) mendefinisikan bermain sebagai berikut:
1.       Simbolik
Salah satu karakteristik bermain adalah “make believe” dimana anak meyakini bahwa benda-benda dihadapannya adalah nyata dan dapat dijadikan apapun sesuai khayalan mereka. Melalui bermain, orang-orang dan objek-objek digunakan sebagai simbol untuk objek dan orang yang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kita biasa melihat anak-anak menggunakan balok untuk membuat kereta atau anak berperan sebagai ibu dengan pakaian yang disesuaikan dan menirukan suara ibu agar dapat berperan sempurna.
2.       Bermakna/ Meaningfull
Bermain menumbuhkan kepekaan anak pada pengalaman nyata dan penuh makna. Johnson (Docket dan Fleer, 2000) menggambarkan bermain sebagai jendela [erkembangan dan kesempatan untuk belajar. Dalam kata lain, permainan anak-anak merefleksikan apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka bisa lakukan. Bermain memberikan anak-anak kesempatan untuk membangun dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman.
3.       Aktif
Salah satu tipikal bermain adalah bermain melibatkan aktivitas. Seringkali bermain menjadi aktifitas fisik, dan pada waktu yang lain bermain dapat menjadi aktivitas mental, contohnya: bermain kata atau bermain imajinasi.
4.       Menyenangkan
Anak-anak terlibat dalam kegiatan bermain karena bermain merupakan kegiatan yang menyenangkan. Para guru dapat menggunakan bermain sebagai proses pengalaman belajar mengajar. Kesenangan bergantung pada persepsi individu, hal yang menyenangkan untuk satu anak belum tentu menyenangkan untuk anak lainnya.
5.       Mengesampingkan aturan
Semua permainan diikat oleh beberapa aturan. Beberapa  aturan terkait dengan waktu permainan dan  alat yang digunakan untuk bermain. Namun pada anak-anak, biasanya anak-anak mengurangi banyaknya aturan ketika bermain, anak-anak lebih suka mengontrol permainan nya sendiri.
6.       Sukarela
Anak-anak yang terlibat dalam permainan didasarkan pada motivasi intrinsik, anak-anak dapat memilih permainan sebelum mereka terlibat, mereka bisa tidak memilih atau mereka bisa merubah permainan. Motivasi bermain tidak hanya berkaitan dengan kenyamanan, namun juga terkait dengan pengalaman ketika anak melwatkan waktu dan melepaskan energi untuk terlibat dalam sesuatu yang penting bagi mereka.
7.       Epsisodik
Epsodik terdapat diawal, pertengahan dan akhir. Anak-anak bermain dalam beberapa tahapan. episode bermain dapat merefleksikan tema permainan yang anak minati. Bermain pada anak memiliki sebuah tahapan orientasi dimana anak memilah-milah apa yang akan mereka mainkan.

Setiap karakteristik di atas bergantung pada pengalaman anak, dalam artian bahwa tidak semua aktivitas adalah bermain, dan tidak semua pengalaman bermakna melibatkan bermain. Namun seluruh karakteristik diatas merupakan suatu kesatuan yang memberikan kontibusi pada perilaku bermain.

Minggu, 13 Oktober 2013

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DALAM PANDANGAN AHLI AGAMA

Oleh: Elis Komalasari

Pendidikan anak usia dini merupakan langkah awal dari jalan panjang dalam menciptakan generasi unggul. Oleh karenanya pembahasan mengenai pendidikan anak telah menarik perhatian banyak penggiat pendidikan, tidak hanya dilihat dari sudut pandang pedagogis dan sosial, namun juga dari perspektif teologis.
Terkait dengan pandangan ahli pendidikan anak dari perspektif pedagogis-teologis islam, tidak terlepas dari nama-nama  besar Abdullah Nasih Ulwan, Ibn Qayyim Al Jauziyyah,  Ibnu Sina, AL Ghazali, Ibn Khaldun dan lain sebagainya. Namun dalam pembahasan ini akan diangkat dua pemikiran ahli yaitu Abdullah Nasih Ulwan, Ibn Qayyim Al Jauziyyah, yang pemikiran-pemikirannya telah mencakup pemikiran-pemikiran ahli lainnya mengenai pendidikan anak.

1.      Ibn Qayyim Al Jauziyyah
Ibn Qayyim Al Jauziyyah adalah seorang ahli fiqh yang memeiliki kepedulian besar terhadap perkembangan anak.  Ia juga banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan psikologi dan pendidikan.  Ibn Qayyim Al Jauziyyah  berpendapat  bahwa anak-anak itu suci, bersih dan keberadaannya diamanatkan oleh Allah Swt, anak-anak harus dididik dan diarahkan perkembangannya ke arah yang baik dan berguna bagi kehidupannya kelak.
Terdapat beberapa pandangan Ibn Qayyim terhadap anak dan pendidikan, sebagai berikut :
a.       anak adalah makhluk beradab dan berakhlak.  adab dan akhlak yang harus diperhatikan  dalam diri anak adalah adab kepribadian, adab mencari ilmu, dan adab dengan gurunya.
b.      Anak mememiliki tekad kuat untuk meraih kesempurnaan ilmu. Dalam hal ini anak harus dijaga dari perbuatan maksiat dan dijauhkan dari hal-hal yang haram sehingga anak mendapatkan kejernihan hati yang akan memudahkan cahaya ilmu untuk menyinari hati.
c.       Dalam konteks pendidikan anak usia dini, anak perlu mendapatkan bimbingan untuk berkompetisi dalam mencari ilmu dan secara bertahap mulai diperkenalkan beberapa sifat yang harus dihindari oleh anak-anak. Hal ini bertujuan untuk menjaga dan memelihara potensi dan pola pikir anak yang sedang berkembang dengan pesat.
d.      Anak usia dini perlu ditanamkan kedisiplinan yang dimanifestasikan dalam kegiatan sehari-hari
e.       Anak-anak perlu diarahkan pada pembentukanpola pikir yang sehat dan berpandangan luas agar tidak fanatik terhadap salah satu pandangan.
f.       Ibn Qayyim Al Jauziyyah sangat menitikberatkan pembentukan akhlak yang luhur bagi anak-anak.
g.      Anak-anak harus dibiarkan untuk banyak bertanya karena kemampuan bertanya memiliki nilai ilmiah yang besar
h.      Ibn Qayyim Al Jauziyyah mengarahkan pendidikan anak usia dini pada komitmen guru dan orangtua untuk memberikan perhatian yang besar terhadap perkembangan anak.
i.        Tujuan pendidikan anak adalah menjaga (kesucian) fitrah anak dan melindungi anak agar tidak menyimpang serta mewujudkan sifat ubudiyah (penghambaan) dalam  diri anak kepada Allah Swt.
j.        Guru dan orangtua sangat penting untuk memperhatikan pendidikan anak dalam berbagai aspek sehingga anak menjadi pribadi yang baik dalam hal mental, intelektual dan spiritual.
k.      Metode pendidikan anak usia dini melalui pembiasaan dan suri tauladan.

2.      Abdullah Nasih Ulwan
Abdullah Nasih Ulwan adalah seorang filsuf dari timur.  Ia memiliki pemikiran pendidikan anak yang dirangkum ke dalam lima pokok pikiran, sebagai berikut:
a.       Mendidik dengan keteladanan (al tarbiyah bi al-qudwah)
Suyadi dan Ulfah (2013) berpendapat bahwa pengembangan metode keteladanan (al tarbiyah bi al-qudwah) dalam pendidikan merupakan metode yang paling berpengaruh untuk mengembangkan kecerdasan anak baik emosional, moral, spiritual, dan etos sosialnya. Dalam bidang pendidikan, Abdullah Nasih Ulwan mengimplementasikan keteladan ke dalam pola-pola sebagai berikut:
1)      menumbuhkan teladan akhlak mulia anak
2)      menumbuhkan teladan kerendahan hati anak
3)      menumbuhkan teladan terhadap kekuatan fisik
4)      menumbuhkan teladan dalam memegang prinsip
b.      Mendidik dengan adat kebiasaan (al-tarbiyah bi al-‘adah)
Pembiasaan dalan pendidikan anak memiliki peranan untuk menumbuhkan serta mengembangkan kecerdasan jiwa dalam menemukan nilai-nilai ketauhidan yang urni, budi pekerti yang mulia, rohani yang luhur, dan etika religius yang lurus. Dalam mendidik anak melalui kebiasaan terdapat dua faktor yang mempengaruhi yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan sosial. kedua lingkungan tersebut memiliki peran strategis untuk mengubah perilaku atau kepribadian anak. Adapun metode yang dapat mengembangkan kepribadian anak adalah dengan pengajaran dan pembiasaan.
c.       Mendidik dengan nasihat (al tarbiyah bi al-mau’idzhah)
Nasih ulwan mengemukakan bahwa metode nasihat (tausiah) dapat digunakan untuk mendidik akidah anak dan mempersiapkan anak baik secara moral, emosional maupun sosial. Ia berpandangan pahwa nasihat memiliki pengaruh yang besar dalam menumbuhkan kesadaran diri anak terhadap hal-hal yang dapat mendorong anak menuju harkat dan martabat yanng luhur, memiliki akhlak mulia serta tumbuhnya jiwa yang didasari dengan nilai-nilai islam.
Pandangan nasih ulwan ini mengacu pada surat Al Luqman, ayat 12-19 yang menceritakan pola pendidikan anak dengan nasihat. Metode nasihat dalam Al-Quran mengandung beberapa faktor pengajaran, antara lain:
1)      seruan untuk menyenangkan dengan upaya dan penolakan yang lembut
2)      nasihat dalam bentuk cerita atau perumpaan yang mengandung pelajaran
3)      nasihat dalam bentuk wasiat
d.      Pendidikan dengan pengawasan (al tarbiyah bi al-muldhazah)
Metode pengawasan adalah mencurahkan perhatian penuh dan mengikuti perkembangan anak dalam aspek akidah dan moral anak, memanatau kesiapan mental dan sosial anak serta mendampingi anak dalam berbagai situasi lingkungan sosialnya. Landasan pola pendidikan pengawasan ini adalah surat At-Tahrim ayat 6 yang menyatakan :
Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahannya terdiri dari manusia dan batu, penjaganya malaikat yang kasar, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengajarkan apa yang diperintahkan.
(Q.S. At Tharim: 6)

Metode pengawasan dapat mengembangkan kecerdasan anak menuju manusia yang sempurna (insan kamil). Selain itu, Rasulullah mengembangkan metode pengawasan dan perhatian terhadap anak-anak melalui beberapa hal, sebagai berikut:
1)      perhatian pada aspek keimanan anak
2)      perhatian pada aspek moral anak
3)      perhatian pada aspek jasmani anak
4)      perhatian pada aspek sosial anak
5)      perhatian pada aspek spiritual anak

e.       Metode pemberian hukuman (al tarbiyah bi al-uqubah)
Metode pemberian hukuman pada anak berbeda dengan pemberian hukuman pada orang-orang secara umumnya. Nasih Ulwan menjelaskan bahwa hukuman untuk anak bersifat memotivasi dalam mengembangkan potensi sehingga penerapan metode hukuman ini diperbolehkan dengan mengikuti beberapa syarat sebagai berikut:
1)      bersikap lemah lembut dan kasih sayang dalam membenahi kesalahan anak
2)      menerapkan hukuman secara bertahap dari yang ringan hingga yang paling keras
3)      menunjukan kesalahan anak dengan berbagai pengarahan
4)      menunjukan kesalahan anak dengan memberikan isyarat
5)      menunjukan eksalahan anak dengan kecaman
6)      tidak menunjukan kesalahan anak dengan memutuskan hubungan (tidak mengacuhkan)
7)      menunjukan kesalahan dengan memukul.

Referensi :
Suyadi & Ulfah Maulidya. 2013. Konsep Dasar PAUD. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya



Kamis, 03 Oktober 2013

Developmentally Appropriate Practice

Oleh: 
Elis Komalasari
 Universitas Pendidikan Indonesia

            Development appropriate practice (DAP) atau praktik pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan anak telah diadopsi oleh berbagai negara sebagai salah satu pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Bradekamp & Copple (Gestwicki, 2007) mendefinisikan development appropriate practice terkait dengan pengaplikasian pengetahuan mengenai perkembangan anak dalam membuat pemikiran dan keputusan yang sesuai dengan praktik program anak usia dini.
            Development appropriate practice bermakna bahwa rancangan program pendidikan anak usia dini didasarkan pada apa yang diketahui tentang anak-anak, bukan didasarkan pada keinginan orang dewasa terhadap anak dan bukan pula didasarkan pada tujuan masa depan. Development appropriate practice bukanlah sebuah kurikulum, namun merupakan sebuah acuan, filosofis, atau pendekatan dalam praktik pembelajaran anak.
            Development appropriate practice didasari oleh beragam teori perkembangan anak, diantaranya teori Piaget dan teori Vygotsky. Piaget dengan teori perkembangan kognitif anak telah memberikan sumbangan besar dalam penyusunan development appropriate practice, demikianpun dengan Vygotsky yang telah menyumbangkan pemikiran mengenai teori interaksi sosial.
            Dalam teori interaksi sosial, Vygotsky meyakini bahwa interaksi sosial merupakan hal yang sangat penting dan menjadi fokus belajar anak. Vygotsky kemudian mencetuskan konsep ZPD (zone proximal development), scaffolding, dan more knowledge member of the culture.

1.      Zone proximal development
Zone proximal development (ZPD) ialah istilah Vygotsky untuk tugas-tugas yang terlalu sulit untuk dikuasai sendiri oleh anak-anak, tetapi yang dapat dikuasai dengan bimbingan dan bantuan dari orang-orang dewasa atau anak-anak yang lebih terampil. (Santrock, 1995).
Santrock berpendapat bahwa level terendah dari ZPD ialah level pemecahan masalah yang ingin dicapai oleh seorang anak yang bekerja secara mandiri, sedangkan level tertinggi ialah level tanggung jawab tambahan yang dapat diterima oleh anak dengan bantuan seorang instruktur yang mampu.
Steward (Santrock, 1995) mengungkapkan bahwa penekanan Vygotsky pada ZPD menegaskan keyakinannya tentang pentingnya pengaruh-pengaruh sosial terhadap perkembangan kognitif dan peran pengajaran dalam perkembangan anak.
2.      Scaffolding
Scaffolding memiliki tujuan untuk membimbing anak-anak untuk memiliki kemampuan dalam mengambil langkah yang lebih besar dalam tugas perkembangannya.
3.      More knowledge member of the culture

Selain hal di atas, Development appropriate practice didasari oleh pengetahuan mengenai bagaimana anak berkembang dan belajar. Pendidik anak usia dini harus memahami apa yang terjadi dalam delapan tahun pertama kehidupan anak dan bagaimana cara terbaik untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak. National Association for the Education of Young Children (NAEYC) dalam Getswicki (2007) mengeluarkan dua belas prinsip dasar perkembangan anak (0-8 tahun). 12 prinsip dasar perkembangan diuraikan sebagai berikut :
1.      Seluruh aspek perkembangan anak (fisik, sosial, emosi dan kognitif) saling berkaitan. Aspek-aspek perkembangan tersebut saling mempengaruhi satu sama lain.
Dalam hal ini pendidikan anak usia dini harus memberikan pengalaman belajar terintegrasi yang memberikan peluang dan kesempatan pada anak untuk tumbuh dan berkembang tidak hanya dalam aspek kognitif namun aspek-aspek lainnya juga turut berkembang.
2.      Perkembangan terjadi dalam rangkaian yang dapat diramalkan. Hal tersebut bersamaan dengan kemampuan, keterampilan dan pengetahuan yang dibangun anak.
Orang dewasa harus mengetahui tahapan perkembangan anak karena dengan pemahaman tersebut, orang dewasa dapat memberikan pengalaman belajar yang sesuai dengan perkembangan dan juga dapat menentukan dasar/landasan pembelajaran pada anak usia dini.
3.      Perkembangan berlangsung dalam kecepatan yang berbeda antar anak yang satu dengan yang lainnya
Setiap anak adalah pribadi yang unik dan sesuatu yang tidak mungkin untuk dibandingkan antara yang satu dengan yang lainnya. Pola perkembangan unik setiap anak dapat dipengaruhi oleh faktor keturunan, kesehatan, temperamen, kepribadian, gaya belajar, pengalaman dan latar belakang keluarga.
4.      Pengalaman-pengalaman awal memberikan konsekuensi, baik secara kumulatif dan keterlambatan perkembangan anak. Pada setiap perkembangan dan belajar terdapat periode kritis.
Pengalaman awal yang dimiliki anak memiliki dampak untuk perkembangan selanjutnya. Anak yang diberi kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosial melalui bermain dengan teman sebaya biasanya akan memiliki rasa percaya diri dan memiliki kompetensi sosial dengan orang lain.
5.      Perkembangan terjadi pada arah yang bisa dipredikasi ke arah yang lebih kompleks dan internalisasi.
Belajar anak usia dini dihasilkan dari pengalaman fisik, pemahaman sensorimotor menuju ke pengetahuan simbolik. Program pembelajaran anak usia dini harus memberikan pengalaman langsung dimana anak dapat memperoleh pengetahuan melalui media sumber belajar, Anak dapat merepresentasikan pengetahuan simbolik melalui media dan menumbuhkan pemahaman mengenai konsep.
6.      Perkembangan dan belajar terjadi dan dipengaruhi oleh konteks budaya dan sosial.
Anak berkembang dengan baik melalui lingkungan keluarga, kemudian komunitas sekolah, dan setelah itu melalui komunitas lingkungan yang lebih besar. Melalui konteks budaya yang secara simultan diperkenalkan pada anak, anak akan memiliki kemampuan untuk belajar budaya baru dan pengalaman berbahasa.
7.      Anak-anak adalah pembelajar yang aktif, mengambil pelajaran dari pengalaman fisik dan sosial, seperti belajar mengambil pengetahuan dari yang ditransmisikan oleh budaya untuk membangun pemahaman mengenai lingkungan sekitar mereka.
Prinsip ini didasarkan pada teori konttuktivis dari Piaget dan Vygotsky yang memandang bahwa perkembangan intelektual terjadi melalui proses membangun melalui interaksi dengan orang lain, media dan beragam pengalaman. Para guru dapat mendukung perkembangan dengan menciptakan lingkungan kelas yang kaya akan media dan memberikan peluang pada anak untuk berinteraksi.
8.      Perkembangan dan belajar merupakan hasil dari kematangan biologis dan lingkungan, termasuk lingkungan sosial dan fisik dimana anak dibesarkan.
Hubungan antara anak dan lingkungan menentukan proses dan kemampuan belajar anak.



9.      Bermain merupakan kendaraan penting bagi perkembangan sosial, kognitif dan sosial anak-anak. Permainan merupakan refleksi dari perkembangan anak
Bermain memberikan kesempatan pada anak untuk memahami lingkungan sekitar, berinteraksi dengan orang lain melalui beragam cara, menunjukan dan mengontrol emosi serta mengembangkan kemampuan simbolik.
10.  Perkembangan meningkat ketika anak-anak memiliki kesempatan untuk mempraktekan keterampilan baru, sama hal nya ketika anak menghadapi tantangan lebih tinggi sehingga  anak memiliki kemampuan yang lebih
Seorang guru berperan penting dalam mengidentifikasi kompetensi dan minat yang dikembangkan oleh anak, setelah itu guru harus menyesuaikan hal tersebut dengan kurikulum pembelajaran. Adanya dukungan kolaboratif dari orang dewasa akan membantu anak untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan ke tahapan yang lebih tinggi.
11.  Anak-anak menunjukan model belajar dan pengetahuan yang berbeda serta cara yang berbeda untuk menunjukan apa yang mereka ketahui.
Guru harus memberikan ragam pengalaman belajar untuk anak sehingga anak-anak yang memiliki gaya belajar berbeda dapat menemukan kompetensi dan kekuatan dari berbagai area yang dibutuhkan.
12.  Anak akan belajar optimal apabila ada dalam komunitas yang nyaman dan menghargai, lingkungan yang memberikan rasa aman secara psikologis dan memenuhi kebutuhan fisik.
Program pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan dapat memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis anak. Program ini juga memperhatikan pemberian lingkungan yang aman, nyaman serta sehat untuk anak-anak.


Referensi :
Santrock, John W. 2005. Life Span Development. Jakarta : Erlangga

Gestwicki, Carol. 2007. Developmentally Appropriate Practice. Canada. Thomson Delmar Learning