Oleh: Elis
Komalasari
Di pinggiran jalan, dalam riuh
suara klakson mobil
Fadil, Usianya belumlah 6 tahun, ia
bernyanyi parau memelas kasih
Bahkan, adiknya yang masih bayi pun,
tertidur di trotoar beralas kardus
Indonesia, lihatlah generasimu..
Riskan, itulah kondisi kehidupan sebagian
anak-anak miskin yang tinggal di perkotaan. Betapa kemiskinan telah menyeret
mereka untuk ikut bertanggung jawab mencari nafkah keluarga. Tak peduli dengan
pendidikan, perkembangan dan pemenuhan kesehatan gizi, yang ada mereka hanya
harus makan untuk mempertahankan hidup. Bermain mereka adalah di jalanan, pendidikan
mereka di jalanan, dan apabila kondisi tersebut terus berlangsung, apa kita
bisa memprediksi akan jadi apa mereka di masa mendatang?.
Berdasarkan
laporan awal proyek pendidikan dan pengembangan anak usia dini yang dilakukan
oleh Bank Dunia (2012), Saat ini, lebih dari 30 juta penduduk Indonesia hidup
di bawah garis kemiskinan dan 65% diantaranya hidup di pedesaan. Pada tahun
2010, di Indonesia terjadi 35 kematian balita dan 27 kematian bayi (per 1000 kelahiran).
Sementara itu, diperkirakan 42% rumah tangga di pedesaan memiliki anak dengan
pertumbuhan tinggi badan terhadap umur terhambat, sehingga membuat anak-anak
beresiko mengalami defisit kognitif jangka panjang, memiliki masalah emosi dan
perilaku, serta prestasi rendah di sekolah.
Walaupun
telah terjadi perbaikan ekonomi nasional, masyarakat merasa bahwa hal tersebut hanya
memberikan manfaat kecil dalam hal kesehatan dan pendidikan, sehingga
menimbulkan resiko pada perkembangan anak dan mengancam pembangunan nasional. Anak-anak
di bawah garis kemiskinan merupakan salah satu permasalahan besar bangsa.
Betapa tidak, nasib bangsa di masa mendatang ditentukan oleh anak-anak yang
pada saat ini tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain, kualitas bangsa
Indonesia di masa mendatang bergantung pada kualitas pendidikan yang diterima
oleh anak-anak pada saat ini. Namun nyatanya kesenjangan berkelanjutan dalam
bidang pendidikan masih terjadi, tingkat
partisipasi anak-anak kurang sejahtera pada layanan pendidikan dan pengembangan
anak usia dini (PPAUD) tetap masih rendah.
Prof.
Dr. Lidya Freyani Hawadi selaku ketua Direktorat Jenderal PAUD mengungkapkan
bahwa “meskipun angka kemiskinan menurun, tapi nyatanya itu tak berdampak pada
keterjangkauan layanan akses PAUD. Kesenjangan terhadap perolehan PAUD antara
masyarakat kaya dan miskin malah semakin tinggi,”. Sementara itu, berdasarkan data Susenas tahun
2004 sampai dengan 2010, angka partisipasi anak-anak kurang sejahtera dalam
mengikuti layanan pendidikan dan pengembangan anak usia dini masih lebih rendah
di banding anak-anak sejahtera. Pada tahun 2010 tercatat angka partisipasi PAUD
untuk anak usia empat hingga enam tahun pada masyarakat kaya mencapai 68
persen. Sementara itu, pada masyarakat miskin hanya mencapai 36 persen.
Kesenjangan yang cukup jauh.
Pendidikan
dan pengembangan anak usia dini menjadi hal yang sangat penting mengingat masa
usia dini sebagai masa kritis dan paling penting dalam perkembangan individu. Mary Eming
Young (2002) dalam tulisannya Ensuring a Fair Start for All Children
memaparkan bahwa masa usia dini adalah masa yang rentan dan penuh peluang.
Perubahan yang cepat dan dramatis dalam perkembangan mental dan fisik terjadi
pada usia tiga tahun pertama kehidupan manusia. Selain itu, pengalaman yang
diperoleh pada usia dini dapat membentuk perkembangan individu dan dapat
memberikan suatu kesempatan unik untuk mengubah kehidupan seluruh anak.
Dalam proses tumbuh kembangnya, anak
usia dini memerlukan pengasuhan, perawatan dan pendidikan yang tepat. Hal
tersebut dapat dilakukan baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan
lingkungan masyarakat. Bloom (Mulyasa, 2012) mengemukakan bahwa 80% potensi
manusia tersebut terbentuk dalam kehidupan rumah tangga dan lingkungan
sekitarnya. Selain itu, dukungan pengasuhan dan program
pendidikan dapat dilengkapi dengan pemberian informasi mengenai perawatan dan
stimulasi untuk anak dapat membantu anak untuk mengoptimalkan potensi yang
dimiliki. (Unesco, 2006)
Dalam hal ini,
dukungan orangtua terhadap program pendidikan anak usia dini menjadi hal yang
sangat penting. Dalam laporan awal Bank Dunia (2012) diungkapkan bahwa
pentingnya peran yang berfokus pada keluarga dikarenakan pendidikan kedua
orangtua dan praktek pengasuhan di rumah dapat menghasilkan perkembangan anak
yang lebih baik, bahkan untuk anak-anak yang tidak berpartisipasi dalam program
PAUD. Lalu bagaimana dengan pola pengasuhan dan pendidikan anak pada keluarga
kurang sejahtera yang pada umumnya memiliki keterbatasan pengetahuan dan
keterampilan dalam pendidikan anak?
Sebagian besar
masyarakat Indonesia belum memahami dan memiliki kesadaran akan pentingnya
pendidikan anak usia dini. Hal ini berpengaruh terhadap praktik pendidikan dan
pengasuhan dalam keluarga. Adanya penyelenggaraan program POS PAUD yang
melibatkan kader-kader PKK, tidak membuat semua orangtua mengikutsertakan
anak-anak mereka ke dalam layanan tersebut. Hal ini dapat disebabkan oleh
banyak faktor, diantaranya kesadaran
masyarakat Indonesia tentang pentingnya usia dini yang masih rendah, akses yang
belum merata, mutu layanan yang masih rendah dikarenakan tingkat kompetensi pendidikan PAUD yang masih rendah
dan sebagian belum memenuhi kualifikasi akademik pendidik PAUD.
Beragam
permasalahan tersebut ikut memperngaruhi keputusan orangtua mengikutkan anaknya
pada layanan PAUD. Kenyataan bahwa rendahnya angka partisipasi anak usia
dibawah tiga tahun pada keluarga miskin dalam mengikuti layanan PPAUD menjadi
hal yang harus diperhatikan. Program layanan PAUD yang terselenggara pada saat
ini perlu terus dievaluasi untuk perbaikan dan peningkatan mutu serta untuk
meninjau efektifitas program layanan.
Pemerintah,
akademisi, stake holder pendidikan harus lebih berupaya lagi untuk
menggugah kesadaran masyarakat khususnya orangtua kurang sejahtera mengenai pentingnya pendidikan anak usia
dini. Dengan cara apa? Selain dengan cara dan program pemerintah yang telah
berjalan, untuk meningkatkan pemahaman orangtua mengenai pendidikan dan
perkembangan anak, pemerintah dapat menyelenggarakan layanan home visit.
Program home visit telah banyak
dilakukan di beberapa negara bagian Amerika untuk memfasilitasi keluarga, terutama pada
keluarga kurang mampu, dalam meningkatkan pemahaman mereka mengenai
perkembangan dan kebutuhan anak. Mary Young memaparkan temuan penelitian di
Jamaica yang menyatakan bahwa program home visit menjadi sebuah layanan
alternatif yang penting untuk meningkatkan akses layanan intervensi pada anak
usia dini pada keluarga miskin dan dapat membangun social capital.
Program home visit telah mendorong implementasi kebijakan pada skala
nasional yang bertujuan untuk kesejahteraan anak.
Dengan
model layanan home visit yang efektif diharapkan capaian peningkatan kesadaran
masyarakat kurang sejatera akan pendidikan anak usia dini dapat meningkat
sehingga anak-anak usia dini dapat tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang
kokoh untuk Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang.