Rabu, 29 Mei 2013

Menyentuh Pendidikan Anak Usia Dini di Jalanan


Oleh: Elis Komalasari

            Di pinggiran jalan, dalam riuh suara klakson mobil
            Fadil, Usianya belumlah 6 tahun, ia bernyanyi parau memelas kasih
            Bahkan, adiknya yang masih bayi pun, tertidur di trotoar beralas kardus
            Indonesia, lihatlah generasimu..

            Riskan, itulah kondisi kehidupan sebagian anak-anak miskin yang tinggal di perkotaan. Betapa kemiskinan telah menyeret mereka untuk ikut bertanggung jawab mencari nafkah keluarga. Tak peduli dengan pendidikan, perkembangan dan pemenuhan kesehatan gizi, yang ada mereka hanya harus makan untuk mempertahankan hidup. Bermain mereka adalah di jalanan, pendidikan mereka di jalanan, dan apabila kondisi tersebut terus berlangsung, apa kita bisa memprediksi akan jadi apa mereka di masa mendatang?.
Berdasarkan laporan awal proyek pendidikan dan pengembangan anak usia dini yang dilakukan oleh Bank Dunia (2012), Saat ini, lebih dari 30 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan dan 65% diantaranya hidup di pedesaan. Pada tahun 2010, di Indonesia terjadi 35 kematian balita dan  27 kematian bayi (per 1000 kelahiran). Sementara itu, diperkirakan 42% rumah tangga di pedesaan memiliki anak dengan pertumbuhan tinggi badan terhadap umur terhambat, sehingga membuat anak-anak beresiko mengalami defisit kognitif jangka panjang, memiliki masalah emosi dan perilaku, serta prestasi rendah di sekolah.
Walaupun telah terjadi perbaikan ekonomi nasional, masyarakat merasa bahwa hal tersebut hanya memberikan manfaat kecil dalam hal kesehatan dan pendidikan, sehingga menimbulkan resiko pada perkembangan anak dan mengancam pembangunan nasional. Anak-anak di bawah garis kemiskinan merupakan salah satu permasalahan besar bangsa. Betapa tidak, nasib bangsa di masa mendatang ditentukan oleh anak-anak yang pada saat ini tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain, kualitas bangsa Indonesia di masa mendatang bergantung pada kualitas pendidikan yang diterima oleh anak-anak pada saat ini. Namun nyatanya kesenjangan berkelanjutan dalam bidang pendidikan masih terjadi,  tingkat partisipasi anak-anak kurang sejahtera pada layanan pendidikan dan pengembangan anak usia dini (PPAUD) tetap masih rendah.
Prof. Dr. Lidya Freyani Hawadi selaku ketua Direktorat Jenderal PAUD mengungkapkan bahwa “meskipun angka kemiskinan menurun, tapi nyatanya itu tak berdampak pada keterjangkauan layanan akses PAUD. Kesenjangan terhadap perolehan PAUD antara masyarakat kaya dan miskin malah semakin tinggi,”.  Sementara itu, berdasarkan data Susenas tahun 2004 sampai dengan 2010, angka partisipasi anak-anak kurang sejahtera dalam mengikuti layanan pendidikan dan pengembangan anak usia dini masih lebih rendah di banding anak-anak sejahtera. Pada tahun 2010 tercatat angka partisipasi PAUD untuk anak usia empat hingga enam tahun pada masyarakat kaya mencapai 68 persen. Sementara itu, pada masyarakat miskin hanya mencapai 36 persen. Kesenjangan yang cukup jauh.
Pendidikan dan pengembangan anak usia dini menjadi hal yang sangat penting mengingat masa usia dini sebagai masa kritis dan paling penting dalam perkembangan individu. Mary Eming Young (2002) dalam tulisannya Ensuring a Fair Start for All Children memaparkan bahwa masa usia dini adalah masa yang rentan dan penuh peluang. Perubahan yang cepat dan dramatis dalam perkembangan mental dan fisik terjadi pada usia tiga tahun pertama kehidupan manusia. Selain itu, pengalaman yang diperoleh pada usia dini dapat membentuk perkembangan individu dan dapat memberikan suatu kesempatan unik untuk mengubah kehidupan seluruh anak.
Dalam proses tumbuh kembangnya, anak usia dini memerlukan pengasuhan, perawatan dan pendidikan yang tepat. Hal tersebut dapat dilakukan baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Bloom (Mulyasa, 2012) mengemukakan bahwa 80% potensi manusia tersebut terbentuk dalam kehidupan rumah tangga dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, dukungan pengasuhan dan program pendidikan dapat dilengkapi dengan pemberian informasi mengenai perawatan dan stimulasi untuk anak dapat membantu anak untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki. (Unesco, 2006)
Dalam hal ini, dukungan orangtua terhadap program pendidikan anak usia dini menjadi hal yang sangat penting. Dalam laporan awal Bank Dunia (2012) diungkapkan bahwa pentingnya peran yang berfokus pada keluarga dikarenakan pendidikan kedua orangtua dan praktek pengasuhan di rumah dapat menghasilkan perkembangan anak yang lebih baik, bahkan untuk anak-anak yang tidak berpartisipasi dalam program PAUD. Lalu bagaimana dengan pola pengasuhan dan pendidikan anak pada keluarga kurang sejahtera yang pada umumnya memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan dalam pendidikan anak?
Sebagian besar masyarakat Indonesia belum memahami dan memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan anak usia dini. Hal ini berpengaruh terhadap praktik pendidikan dan pengasuhan dalam keluarga. Adanya penyelenggaraan program POS PAUD yang melibatkan kader-kader PKK, tidak membuat semua orangtua mengikutsertakan anak-anak mereka ke dalam layanan tersebut. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya usia dini yang masih rendah, akses yang belum merata, mutu layanan yang masih rendah dikarenakan tingkat kompetensi pendidikan PAUD yang masih rendah dan sebagian belum memenuhi kualifikasi akademik pendidik PAUD.
Beragam permasalahan tersebut ikut memperngaruhi keputusan orangtua mengikutkan anaknya pada layanan PAUD. Kenyataan bahwa rendahnya angka partisipasi anak usia dibawah tiga tahun pada keluarga miskin dalam mengikuti layanan PPAUD menjadi hal yang harus diperhatikan. Program layanan PAUD yang terselenggara pada saat ini perlu terus dievaluasi untuk perbaikan dan peningkatan mutu serta untuk meninjau efektifitas program layanan.
Pemerintah, akademisi, stake holder pendidikan harus lebih berupaya lagi untuk menggugah kesadaran masyarakat khususnya orangtua kurang sejahtera  mengenai pentingnya pendidikan anak usia dini. Dengan cara apa? Selain dengan cara dan program pemerintah yang telah berjalan, untuk meningkatkan pemahaman orangtua mengenai pendidikan dan perkembangan anak, pemerintah dapat menyelenggarakan layanan home visit. Program home visit telah banyak dilakukan di beberapa negara bagian Amerika untuk memfasilitasi keluarga, terutama pada keluarga kurang mampu, dalam meningkatkan pemahaman mereka mengenai perkembangan dan kebutuhan anak. Mary Young memaparkan temuan penelitian di Jamaica yang menyatakan bahwa program home visit menjadi sebuah layanan alternatif yang penting untuk meningkatkan akses layanan intervensi pada anak usia dini pada keluarga miskin dan dapat membangun social capital. Program home visit telah mendorong implementasi kebijakan pada skala nasional yang bertujuan untuk kesejahteraan anak.
Dengan model layanan home visit yang efektif diharapkan capaian peningkatan kesadaran masyarakat kurang sejatera akan pendidikan anak usia dini dapat meningkat sehingga anak-anak usia dini dapat tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang kokoh untuk Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang.


Selasa, 28 Mei 2013

Kerangka Pemikiran Kebijakan Pendidikan Dasar di Indonesia

Oleh :
Elis Komalasari
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Pendidikan di Indonesia memiliki banyak kebijakan. Kenyataan bahwa kebijakan pendidikan tersebut seringkali berganti dengan cepat, salah satunya dipengaruhi oleh faktor politik. Politik memang tidak bisa dipisahkan dari proses perumusan dan implementasi kebijakan. Sebagaimana Tilaar dan Nugroho (2009) mengungkapkan bahwa sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khususnya pada proses perumusan. Kebijakan pendidikan sebagai bagian dari kebijakan publik tidak terlepas dari preferensi politis pemerintah sebagai aktor yang merumuskan kebijakan.
Perubahan kurikulum pendidikan menjadi bukti nyata kebijakan yang dipengaruhi oleh peran pemangku kebijakan, selama beberapa puluh tahun, pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian kurikulum. Kebijakan kurikulum berganti seiring dengan pergantian kabinet dalam pemerintahan. hal tersebut sangat bertolak belakang dengan teori kebijakan inkremental. Teori inkremental menganggap bahwa kebijakan publik merupakan variasi ataupun keberlanjutan dari kebijakan di masa lalu. Teori ini dapat dikatakan sebagai teori pragmatis/ praktis. Inti dari kebijakan inkrementalis adalah berusaha mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu untuk mempertahankan kinerja yanng telah dicapai.
Namun pada tahun 2013, teori inkremental tercermin dalam perumusan kebijakan kurikulum 2013. Pemerintah membuat kurikulum 2013 tanpa merubah keseluruhan kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum KTSP. Apa yang menjadi inti dari kurikulum 2013 adalah perubahan filosofis pendidikan sedangkan hal lainnya tetap menggunakan kurikulum KTSP. Dalam hal ini bisa dilihat upaya pemerintah dalam melakukan keberlanjutan kurikulum dengan merumuskan variasi baru tanpa mengenyampingkan kebijakan kurikulum sebelumnya.
Sementara dalam pembuatan-pembuatan kebijakan pendidikan dasar lainnya, seperti kebijakan pemberian BOS dan sekolah gratis. Pemerintah telah melakukan upaya untuk memberikan manfaat yang optimum kepada masyarakat khususnya anak-anak agar mendapatkan kesempatan bersekolah. Apabila kita memandang sebuah kebijakan yang berakar pada pemikiran memberikan manfaat sebesar-besarnya, kita dapat merujuk pada teori kebijakan rasional, dimana teori ini mengedepankan gagasan bahwa kebijakan publik sebagai maximum social gain, artinya pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat. Dengan kata lain, teori ini lebih menekankan pada efisiensi atau aspek ekonomis.
Adanya penekanan aspek ekonomis dalam perumusan kebijakan pendidikan dasar dapat dipengaruhi oleh kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Pada saat ini, berdasarkan laporan awal mengenai bidang pendidikan (Bank Dunia, 2012) mengungkapkan bahwa di Indonesia masih terdapat kesenjangan dalam hal ekonomi, lebih dari 31% masayarakat indonesia hidup dalam kemiskinan. Walaupun Indonesia mengalami kemajuan dalam pencapaian MDGs namun bagi masayarakat miskin hal tersebut hanya memberikan perubahan kecil bagi kehidupan mereka.
Dengan adanya pemberian bantuan operasional sekolah tidak membuat semua anak-anak dapat menikmati fasilitas tersebut. hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor akses dan mutu pendidikan yang harus pemerintah tingkatkan, Disini jelas bahwa pemerintah harus memiliki kerangka pemikiran yang ajeg dalam merumuskan kebijakan pendidikan agar kebijakan yang dikeluarkan untuk kepentingan bersama dapat dirasakan bersama-sama dan meraih keberhasilan dalam implementasi dan hasil.
Adanya kebijakan pendidikan dasar mengenai kurikulum 2013 yang lebih menekankan pada perubahan aspek filosofis pendidikan dan hakikat perkembangan peserta didik, hal ini senada dengan pendapar Irianto (2011)  bahwa ketika kebijakan pendidikan dipandang dari sudut keilmuan, hal tersebut memiliki makna imperatif dan merujuk pada paradigma filsafat keilmuan. Adapun paradigma filsafat dalam kebijakan pendidikan harus merujuk pada paradigma ilmu pendidikan. Kita mengetahui bahwa paradigma ilmu pendidikan lebih menekankan pada perkembangan peserta didik dan bagaimana pendidikan dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik sehingga menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Dengan landasan filosofis idealisme tersebut, pendidikan seharusnya terbebas dari pengaruh dan nuansa politis. Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh dalam sebuah harian online Kompas (senin, 6 mei 2013) mengatakan dengan keras “Please, don’t touch education!”. Ia meminta agar urusan pendidikan yang kini sedang dijalankan tidak dikaitkan dengan urusan politik. Bahkan, ia menegaskan bahwa pendidikan tidak boleh tersentuh oleh apa pun termasuk politik. Selain itu, M.Nuh mengungkapkan juga bahwa masalah pendidikan harus dilakukan secara berkelanjutan dan tidak boleh dipengaruhi oleh periode politik yang berjalan. Pasalnya, pendidikan ini menyangkut hajat hidup orang banyak dan masa depan bangsa, sehingga apa yang sudah dijalankan tidak bisa diubah begitu saja hanya karena alasan periode politik.

Adakah kemungkinan untuk kebijakan pendidikan dapat berjalan seperti apa yang M.Nuh katakan? Apabila kita mencermati kondisi di lapangan dan kajian teoritis, kemungkinan kebijakan pendidikan untuk terlepas dari pengaruh politik yang sedang berjalan itu kecil kemungkinan. Karena berbagai teori mengemukakan bahwa kebijakan tidak terlepas dari politik. Namun dari pendapat M.Nuh dapat diambil benang merah bahwa pada saat ini kebijakan pendidikan di Indonesia dilakukan secara berkelanjutan. Hal tersebut bermakna kerangka pikir kebijakan pendidikan di indonesia memiliki kecenderungan menganut teori inkrementalis, dimana kebijakan dibuat sebagai variasi dan mempertahankan kebijakan yang telah dibuat sebelumnya.

Referensi :
Irianti, Yoyon B. (2011). Kebijakan Pembaharuan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Tilaar & Nugroho. (2009). Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
 World Bank. (2012). Pendidikan dan Pengembangan Anak Usia Dini di Indonesia: Landasan Kokoh, Hari Esok Cerah. World Bank, 2012
 Afifah, Riani. (2013). Please, Don’t Touch Education. Retrieved: www.kompas.com. [senin, 06 Mei 2013]